Seminggu yang lalu aku melenpon keluargaku yang berada di kampung.
Memberi kabar jika hari jumat yang akan datang aku akan pulang ke rumah. Tentu
ayah yang sedang berbicara denganku melalui saluran telepon meresponnya dengan
senang dan antusias untuk menyambut kedatangan anak terakhirnya tiba di rumah
dalam waktu beberapa hari lagi. Ayah juga mengatakan jika di hari sabtu yang
akan datang kebetulan ada acara pernikahan salah satu dari saudaraku dan di hari
minggunya kaka keduaku yang menjadi seorang abdi negara akan melakukan dikjur
intel, ayah juga memintaku untuk mengantarkan keberangkatan kakaku, dan masih
banyak agenda lain yang ayahku persiapkan jika aku pulang ke rumah.
Tentu hal yang seperti ini yang membuatku selalu bersemangat untuk segera
pulang ke rumah karena ayah selalu memiliki agenda untukku di rumah. Apabila
ibu yang menerima teleponnya maka pembahasannya akan membicarakan masakan apa
yang akan ibu hidangkan jika aku tiba di rumah. Selama ayah dan ibu hidup di
dunia ini maka rumah akan selalu menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan
bagiku, rumah tempatku mencurahkan kesenangan dan keresahanku, rumah adalah
tempatku pulang.
Disela-sela percakapanku bersama ayah melalui saluran telepon ketika
sedang membicarakan saudaraku yang akan menikah aku tidak sengaja mengatakan
kepada ayahku jika aku sedang jatuh cinta.
“aku juga disini sedang tidak enak pikiran karena wanita pah”.
Sepontan ayahku menjawabnya.
“kenapa? Ada masalah apa? Ceritain aja”.
Sejenak aku terdiam memikirkan mengapa aku sampai mengatakan hal seperti
itu. Tadinya biarlah ini tetap menjadi rahasiaku dengan Tuhan saja. Tapi apa
boleh buat, aku sudah terlanjur mengatakan hal itu. Bisikan ibu yang sedang
berada di samping ayah terdengar melalui saluran telepon meminta penjelasan
dariku. Baiklah, aku tidak ingin membuat kedua orangtuaku merasakan penasaran.
Aku akan bercerita.
“aku tidak apa-apa pah, aku hanya sedang memikirkan seorang wanita”
“siapa orangnya? Kenapa kamu memikirkan dia?”
“aku juga tidak tahu siapa wanita itu, aku hanya pernah bertemu dengannya
dan tidak sengaja kita berdua saling beradu tatap”
“terus?”
“aku melihat dia sedikit tersenyum kepadaku tapi aku segera menundukan
kepala pah, hal ini tidak seperti biasanya, dan sekarang sudah hampir satu
bulan berlalu aku masih saja memikirkan tentang wanita itu”.
“terus masalahnya dimana?”
“sebenarnya tidak ada masalah pah. Aku hanya merasa heran, kenapa aku
masih tetap memikirkan wanita itu. Apa karena dia cantik ya?”
“siapa orangnya?”
“aku belum bisa memastikannya. Selang satu hari dari kejadian itu, aku
bertemu dengan wanita itu lagi di warung yang berbeda. Terlihat wanita itu
dekat dengan penjaga warungnya pah. Tiba-tiba badanku bergetar begitu saja,
jantungku juga berdetak semakin kencang, aku tidak bisa mengendalikan otakku
saat itu pah”.
“kamu harusnya bertanya siapa namanya. Kamu harusnya berkenalan dengan
wanita itu.”
Aku terdiam sejenak untuk menyiapkan jawaban apa yang harus aku berikan
kepada ayahku.
“pah, aku benar-benar tidak tau apa yang sedang terjadi padaku saat itu.
Aku benar-benar tidak dapat mengendalikan perasaanku. Untuk menenangkan diriku
saja aku kewalahan apa lagi jika aku harus berkenalan dengan wanita itu”
“terus apa yang kamu lakukan? Hanya diam saja?”
“iya pah, setelahnya wanita itu pergi dan keadaanku mulai berangsur
membaik aku bertanya kepada si ibu penjaga warung. Kata si ibu warung wanita
itu namanya Dea”
“Dea orang mana? Dia kuliah juga disana?”
“aku juga tidak tahu pah”
Matahari senja semakin lelah untuk bersinar ketika warna orange yang
sangat indah dipijarkannya semakin menghilang sebagai pertanda dia ingin beristirahat di orbitnya
ayahku mematikan teleponnya.
“sebentar lagi adzan magrib, papah akan pergi ke masjid. Segera pulang
agar bisa leluasa untuk bercerita nak. assalamualaikum”
“waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh”
Kira-kira seperti itulah isi dari percakapanku dengan ayahku seminggu
yang lalu melalui saluran telepon.
Hari ini aku pulang tiba di rumah sekitar pukul 02:15 WIB, beristirahat
sejenak, paginya sekitar pukul 07:30 WIB aku mengantarkan ibu dan ayahku untuk
menghadiri pernikahan saudaraku. Setelah adzan dzuhur kami pamitan pulang,
persiapan untuk pergi ke rumah kakaku yang akan mengikuti dikjur intel di
daerah bandung.
Ternyata di rumah sudah ada tetangga kampung yang sedang bertamu,
setelahnya melaksanakan shalat dzuhur aku memanfaatkan waktu menunggu tetangga
yang sedang bertamu itu dengan tidur siang. Sekitar jam 4 sore ibuku
membangunkanku untuk melaksanakan shalat ashar lalu mandi.
Setelah shalat magrib aku, ayah, ibu, kaka pertama dan keponakanku
berangkat ke rumah kaka ke duaku untuk bermalam disana karena besoknya kakaku
harus berangkat pagi dari rumah.
Di perjalanan kita membicarakan tentang saudaraku yang alhamdulillah
sudah menikah tadi pagi. Tiba-tiba kaka pertamaku bertanya tentang pasanganku.
“dema, pacar kamu orang mana? Ko kakak ga pernah tau tentang pacar kamu?”
Aku hanya tersenyum, begitupun dengan ibu dan ayahku. Memang aku tidak
pernah membicarakan seorang wanita apalagi seorang pacar kepada kakak-kakaku. paling
sering bercerita kepada kedua orangtuaku
pun tentang tujuanku setelah selesai kuliah nanti mau jadi apa. Karena aku sering
mendapatkan kebingungan apa yang akan aku lakukan setelah lulus kuliah nanti. Apakah
aku akan menjadi pengangguran? Bekerja bersama orang lain? Mendirikan bisnis
sendir? Entahlah aku masih sering ketakutan jika pada ahirnya setelah lulus
kuliah nanti aku akan menjadi seorang penganggur. Dari semua kekhawatiran itu hanya
satu kalimat dari ayahku yang dapat membuatku tenang dan bersemangat kembali.
“berbaik sangka kepada Allah. Allah selalu memberikan yang terbaik untuk
kita. Kamu tidak perlu cemas untuk masa depanmu, apapun yang terjadi, yang
sudah, dan yang akan terjadi kepada kita itu sudah keputusan dari Allah”.
Ketika kaka pertamaku melihat aku hanya tersenyum saat ditanya tentang
pacar dia bertanya sekali lagi.
“pacarnya orang mana Dema? Kaka mau kenal”
Aku jawab dengan tegas dan lugas.
“aku tidak pacaran ka”
Kakaku menaikan kedua alisnya seraya berkata
“ga pacaran gimana? Ga punya pacar? Atau lagi ga pacaran karena lagi di
rumah?”
“aku ga mau pacaran dulu ka”
“kenapa dem?”
“aku malu belum punya modal buat traktir beli makan pacar aku, lagian di
agama kita juga tidak menganjurkan untuk berpacaran ka. Aku lagi mempersiapkan
diriku terlebih dahulu”
ibuku yang mendengarkan ikut berkomentar
“ga apa-apa kalau mau pacaran, asal jangan pacaran yang aneh-aneh aja,
sebelum menikah juga kamu kan harus tau dulu seluk beluknya calon isteri kamu. Mamah
ga ngelarang kamu buat pacaran ko”
Ibuku memang selalu berkata seperti itu jika aku bercerita tentang
tujuanku setelah lulus kuliah nanti. Kerja dan menikah.
“iya bu ga apa-apa, aku udah serahin semuanya ke Allah. Papah sering
bilang kalau Allah itu selalu memberikan yang terbaik buat kita. Apapun yang
terjadi pada kita yaitulah terbaik buat kita. Iya kan pah?”
“iya mamah ngerti, tapi apa salahnya kamu juga sambil kuliah sambil
cari-cari pacar. Katanya kamu mau nikah muda”
“iya bu insyaAllah”
Di perjalanan aku melihat banyak muda-mudi jalan berdua bermesraan dengan
pasangannya, tiba-tiba aku teringat tentang calon isteriku.
“Oh iya, jodoh aku sekarang lagi apa ya? Dia punya pacar atau engga ya? Apa
dia sekarang lagi main sama pacarnya ya, ini kan malam minggu. Semoga aja dia
baik-baik aja, kalau dia punya pacar semoga pacarnya ga terlalu nyakitin dia”.
Kaka segera menyauti perkataanku.
“ya mana tau, jodoh kan masih rahasia Illahi, mungkin iya dia lagi
pacaran sama pacarnya, tapi semoga aja engga, jodohkan cerminan dari kita juga”
“iya ya, mungkin dia sekarang lagi jalan berdua sama pacarnya. Kenapa dia
ga milih buat jomblo aja ya, padahal memperbaiki dan menyiapkan diri buat aku
itu jauh lebih baik, hehehe”
“ya siapa yang tau, kalau dia tau dia juga ga akan mau pacaran kali Dem,
mungkin dia masih mikir kalau pacarnya yang sekarang adalah jodoh dia,
padahalkan belum tentu”
Ibuku juga turut meramaikan percakapan
“sama mamah di doain biar Dema kuliahnya lancar, ilmunya bermanfaat, bisa
cepet lulus, dapet kerjaan, kalau nanti nemuin jodoh boleh langsung nikah. Ga usah
banyak mikir lagi. Ga usah mikirin buat bahagiain orangtua dulu, justru
kebahagiaan orangtua itu ketika bisa melihat anak-anaknya bahagia. Jangan takut
kalau nanti menikah kamu ga bisa ngasih ke orangtua. Kita masih punya Allah dan
Allah juga nanti yang akan mencukupkan rezeki kita”
“aamiin”